Sejarah panjang dinamika politik di tubuh PDIP selalu diwarnai oleh peran sentral figur-figur strategis. Sejak pertemuannya dengan Leonardus Benyamin Moerdani yang lebih dikenal Benny Moerdani pada tahun 1986, Megawati Soekarnoputri selalu didampingi oleh Taufik Kiemas, yang berperan sebagai sekondan.

Peran strategis ini terus diemban Taufik Kiemas hingga berpulang pada tahun 2013, meninggalkan kekosongan besar dalam struktur kepemimpinan internal partai.

Bangkitnya Hasto Kristiyanto
Pasca wafatnya Taufik Kiemas, adik kandungnya, Nazaruddin Kiemas, yang menjabat sebagai Ketua Banteng Muda Indonesia yang merupakan organisasi sayap partai PDI Perjuangan, juga meninggal dunia pada 26 Maret 2019.

Kematian Nazaruddin Kiemas membuka celah yang coba dimanfaatkan oleh Hasto Kristiyanto untuk mengonsolidasikan suara dan pengaruh. Hasto Kristiyanto berusaha mengalihkan suara Nazaruddin Kiemas ke Harun Masiku, namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak permohonan PDIP tersebut.

KPU menilai bahwa suara Nazaruddin, sebagai caleg di dapil Sumatera Selatan 1 pada Pemilu 2019, seharusnya dialihkan kepada Riezky Aprilia yang memiliki suara terbanyak kedua.

Upaya Hasto Kristiyanto untuk memasukkan Harun Masiku ke parlemen menunjukkan bagaimana ia secara bertahap menggantikan peran Taufik Kiemas sebagai sekondan Megawati Soekarnoputri.

Hasto Kristiyanto bahkan dipandang sebagai “anak sulung” di antara kedua ahli waris yang berseteru di dalam partai, yaitu Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Posisi ini menjadikan Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen terlama di PDIP sejak 2014.

Transisi Kepemimpinan Cenderung Berantakan
PDIP menghadapi tantangan berat dalam transisi kepemimpinan, terutama dalam mempertahankan mantra “anak biologis Soekarno” sebagai landasan utama partai.

Gagalnya skenario “Prabowo-Puan” menjelang Pemilu 2024 menjadi pukulan besar yang menambah keruwetan internal. Hasto Kristiyanto, dengan kecermatannya membaca situasi, memilih untuk merawat perseteruan keluarga antara Puan dan Prananda sebagai strategi politik.

Langkah ini membuka peluang untuk merealisasikan skenario “Jalan Tengah” yang pernah digagas oleh seorang trah Soekarno. Sebaliknya, Hasto Kristiyanto memanfaatkan posisinya sebagai “anak sulung” untuk memainkan skenario ambisius menuju kursi yang lebih tinggi lagi.

Koalisi Pemerintah dan Upaya Menghentikan Hasto Kristiyanto
Rencana ambisius Hasto Kristiyanto menjadi perhatian serius bagi koalisi besar di sisi pemerintah. Koalisi ini melihat langkah Hasto Kristiyanto sebagai ancaman yang berpotensi mengguncang stabilitas politik nasional.

Ambisi manuver narasi Hasto Kristiyanto dipandang sebagai skenario berbahaya yang dapat mengganggu tatanan internal PDIP sekaligus keseimbangan politik nasional.

Koalisi politik pemerintah dengan pengaruh yang kuat, harus menghentikan langkah Hasto Kristiyanto melalui dukungan penegakan hukum yang mengarah pada keterlibatan dalam berbagai kasus dan narasi politiknya.

Langkah ini menunjukkan bahwa politik PDIP saat ini tidak hanya tentang mempertahankan loyalitas kepada warisan Soekarno, tetapi juga tentang bagaimana menjaga integritas dan stabilitas di tengah gejolak politik yang semakin kompleks.

Dinamika internal PDIP menunjukkan bahwa ambisi individu dan konflik keluarga dapat menjadi faktor yang menentukan arah politik partai. Peran Hasto Kristiyanto sebagai pengganti Taufik Kiemas di dalam struktur partai menjadi sorotan utama dalam upaya transisi kepemimpinan.

Namun, langkah-langkah strategis dan ambisiusnya juga memunculkan tantangan serius, baik dari dalam maupun luar partai.

Dengan situasi yang semakin memanas, pertanyaan besar tetap ada: apakah PDIP mampu keluar dari bayang-bayang konflik internal dan menemukan jalan baru menuju konsolidasi partai?

Atau justru terjebak dalam skenario yang semakin memperumit posisi mereka di kancah politik nasional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan PDIP di pentas politik Indonesia.

Dialektika silent majority di grass root PDIP dalam perhelatan di Pilkada Gubernur Jawa Tengah 2024, seharusnya dapat dijadikan bahan perenungan menuju 2029. Enough is enough! (fir)