Latar Belakang Kasus Korupsi Timah Rp 300 Trilyun ini diperankan oleh beberapa aktor. Aktor utama yang paling disorot perannya adalah Harvey Moeis dari PT Refined Bangka Tin (RBT). RBT adalah perusahaan swasta yang bergerak dibidang pertambangan timah di Pulau Bangka Belitung.
Kasus yang melibatkan Harvey Moeis merupakan satu kesatuan dengan peran petinggi di PT Timah, sebuah perusahaan milik negara pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Timah di Pulau Bangka Belitung.
Keterlibatan Moeis dalam kesepakatan yang tidak transparan ini telah merugikan negara sangat besar, terutama dalam hal pendapatan pajak dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan penambangan.
Praktik korupsi yang melibatkan Moeis dan PT. Timah telah berlangsung selama beberapa tahun dan mengakibatkan kerugian negara yang sangat signifikan, yaitu Rp 300 Trilyun. Pengadilan Tipikor yang memproses kasus ini menjatuhkan vonis pada bulan Desember 2024 dari serangkaian sidang dengan menghadirkan berbagai aktor terpidana lainnya.
Dalam putusannya, hakim menjatuhkan vonis terhadap Harvey Moeis dengan pidana penjara cuma 6,5 tahun dan denda hanya Rp 212 miliar. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa yakni pidana 12 tahun penjara.
Vonis ini ternyata memicu gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat. Vonis tersebut terlalu ringan mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkannya.
Vonis ringan terhadap Harvey Moeis menyisakan dampak sosial yang cukup signifikan pada masyarakat. Semakin meningkat kekecewaan masyarakat pada sistim hukum di Indonesia. Rasa tidak puas dan tidak percaya terhadap sistem hukum, jika dibiarkan bisa mengguncang stabilitas keamanan dan sosial di negara tercinta ini.
Keresahan masyarakat pada vonis hakim yang sangat ringan terhadap maling-maling berdasi ini, langsung mendapat perhatian Presiden Prabowo Subianto.
Presiden Prabowo dengan kecewa menyoroti vonis ringan terpidana kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Prabowo pun meminta jaksa mengajukan banding atas vonis tersebut, bahkan dengan tegas presiden mengharap hukuman pada maling itu mencapai 50 tahun penjara.
Prabowo menyatakan, apabila telah terbukti melakukan pelanggaran yang merugikan negara hingga ratusan triliun, sudah sepatutnya majelis hakim menjatuhkan vonis yang berat.
Presiden Prabowo Subianto menginginkan penerapan hukuman berat bagi para pelaku tindak pidana yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tanpa menyebutkan nama para terdakwa, pernyataan tersebut tampaknya menyinggung putusan majelis hakim dalam kasus korupsi komoditas timah yang melibatkan Harvey Moeis, mantan Direktur Utama PT. Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan mantan Direktur Keuangan PT. Timah Emil Ermindra yang divonis cuma 6,5 tahun dan 8 tahun penjara. Vonis yang dinilai terlalu ringan oleh masyarakat.
“Tapi rakyat pun ngerti, rakyat di pinggir jalan ngerti. Rampok triliunan, eh ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti Jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, TV, tolong Menteri Pemasyarakatan ya,” lanjutnya.
Dalam pidato di acara Musrenbangnas 2024, Senin (30/12) itu, Prabowo menegaskan bahwa vonis ringan bagi koruptor dapat melukai rasa keadilan masyarakat. Ia pun menginstruksikan Kejaksaan untuk mengajukan banding agar vonis Harvey diperberat hingga mencapai 50 tahun penjara. Hal ini mencerminkan komitmen Prabowo dalam memerangi korupsi di Indonesia.
Yang lebih berbahaya, dampak sosial dari keputusan ini juga dapat menimbulkan apatisme publik terhadap hukum. Jika masyarakat merasa bahwa hukum tidak dapat memberikan keadilan, maka mereka cenderung kehilangan kepercayaan terhadap proses-proses hukum yang ada. Ini bisa mendorong potensi terjadinya tindakan anarkisme dan kekacauan sosial jika pelaku-pelaku korupsi terus lolos dari jeratan hukum.
Dari segi ekonomi, kerugian yang ditimbulkan akibat skandal ini juga sangat besar. Korupsi telah mengakibatkan hilangnya dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Investasi yang seharusnya masuk ke Indonesia berpotensi terhambat, karena tidak ada jaminan bahwa kesepakatan tidak akan melibatkan praktik korupsi di masa depan. Ini berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor yang terkait dengan sumber daya alam seperti timah.