Selama puluhan tahun, sistem pembayaran global didominasi oleh raksasa Barat seperti Visa, Mastercard, dan SWIFT.
Hampir setiap transaksi lintas batas atau penggunaan kartu kredit global pasti melewati salah satu dari mereka. Namun, di Asia Tenggara, dan khususnya Indonesia, dinamika ini mulai berubah — dan perubahan itu sangat strategis.
QRIS dan GPN: Akar Digital yang Telah Tertanam
Indonesia telah meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada Agustus 2019, sebagai standar nasional kode QR yang memungkinkan semua jenis pembayaran digital hanya dengan satu kode.
Menurut data Bank Indonesia, hingga akhir tahun 2023, lebih dari 30 juta merchant telah mengadopsi QRIS, sebagian besar adalah pelaku UMKM. Bahkan, 87% pengguna QRIS berasal dari sektor informal — warteg, pasar tradisional, dan pedagang kaki lima.
Tak hanya itu, sistem Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang diluncurkan pada tahun 2017, telah memungkinkan interkoneksi antarbank domestik dan mengurangi dominasi sistem pembayaran asing di dalam negeri.
Sebelum GPN, hampir semua kartu debit menggunakan jaringan luar negeri, yang berarti biaya transaksi lebih tinggi dan data keuangan sensitif keluar dari negeri.
Dengan QRIS dan GPN, Indonesia menurunkan biaya transaksi, mempercepat inklusi keuangan, dan — yang terpenting — mengamankan data finansial rakyatnya di dalam negeri.
Tekanan Asing: Ancaman terhadap Kedaulatan Digital
Namun, kemajuan ini kini menghadapi tekanan dari luar. Pemerintah Amerika Serikat, melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR), menyatakan bahwa regulasi sistem pembayaran Indonesia dianggap membatasi akses perusahaan asing, termasuk pembatasan kepemilikan dan kewajiban menggunakan jaringan domestik.
Padahal, pembatasan ini merupakan bentuk kedaulatan — seperti halnya negara lain melindungi sektor strategis mereka. Mengingat sektor pembayaran sangat sensitif dan menyangkut arus data pribadi dan ekonomi nasional, campur tangan asing dapat berdampak luas, dari keamanan data hingga ketergantungan ekonomi.
Asia Tenggara Bergerak Mandiri
Indonesia bukan satu-satunya. Negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura juga tengah membangun jaringan pembayaran lintas negara berbasis kode QR lokal. ASEAN Payment Connectivity Initiative, yang mulai berjalan sejak 2022, memungkinkan warga negara antarnegara membayar cukup dengan QR dari dompet digital lokal mereka.
Ini adalah tanda pergeseran kekuatan finansial — dari dominasi barat menuju konektivitas regional yang lebih mandiri, murah, dan efisien.
Pilihan Prabowo: Antara Tekanan dan Kepercayaan Publik
Pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto harus melihat ini sebagai isu strategis. Menyerah pada tekanan asing bukan hanya berisiko membuka celah pengaruh ekonomi, tapi juga bisa menjadi pukulan terhadap kepercayaan publik.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa 72% masyarakat mendukung penguatan sistem pembayaran nasional dan menolak intervensi asing di sektor ini. Artinya, QRIS dan GPN telah menjadi simbol kemandirian nasional yang tak bisa dinegosiasikan begitu saja.
QRIS Adalah Masa Depan
QRIS bukan sekadar alat transaksi. Ia adalah wujud nyata dari kemandirian teknologi, ekonomi, dan data.
Di tengah dinamika geopolitik yang berubah, mempertahankannya bukan pilihan — melainkan keharusan nasional. Pemerintah Prabowo harus berdiri teguh: melindungi infrastruktur keuangan domestik sama pentingnya dengan menjaga batas negara. (fir)
Topics #Prabowo Subianto